Polemik poligami di Indonesia
merupakan isu yang sangat pada saat ini. Sebenarnya, isu ini sudah sangat biasa
apaila kita mencermati platform digital seperti instagram, facebook, twitter,
dan tiktok semisalnya. Pada tulisan kali ini, kita akan melihat sisi poligami
dalam tiga pertimbangan besar. Pertama adalah agama, kedua adalah
sosial-budaya, dan ketiga adalah ekonomi.
Dan, polemic terbesar ketika kita
membicarakan tentang poligami ialah agama. Karena bagaimana pun, mereka
seolah-olah berlindung atas nama “agama” atau pun sesuatu yang mereka anggap
benar. Padahal, agama sendiri tidak mengajarkan demikian. Justru, hadirnya
agama yang dibawa oleh baginda Nabi Muhammad Saw adalah untuk menghilangkan
poligami yang ada secara perlahan dan bertahap. Mengikat, kondisi Bangsa Arab
pada saat itu dimana perempuan dijadikan oleh seorang laki-laki sebagai budak
dan isteri dijadikan sebagai pembantu yang tidak bisa berdaya.
Sebenarnya, tulisan ini diangakat
dari video acara narasi yang berdurasi 22 menit di mana dalam tayangan tersebut
membicarakan sosok Coach Hafidin selaku mentor poligami. Satu hal yang membuat
penting untuk kita bicara dimedia tentang isu poligami ialah dengan pernyataan
Coach Hafidin “Saya punya optimism di 2025 itu semarak poligami akan semakin
kuat”. Argumentasinya tentu tidak jauh dari kemenangan Islam pada zaman
sekarang dan Taliban yang merebut Afghanistan.
Ketika saya amati dengan cermat,
pembicaraan Coach Hafidin di depan para isteri dan ketika berhadapan langsung
dengan team narasi pun memiliki perbedaan. Konsep pembicaraan yang begitu
menarik tentu akan membuat jamaah tertarik untuk mengikuti mentor Coach
Hafidin, dan bagaimana ia membicarakan tentang “Cemburu bisa menjadi sesuatu
yang indah, yang bagus, kalau penataan rumah tangganya benar”. Akan tetapi,
satu hal yang perlu kita bicarakan di sini ialah ia menikah tanpa persetujuan
isteri. Mungkin secara hukum fiqih boleh, tapi bagaimana secara hukum kode etik
berumah tangga dan menjaga perasaan sang isteri.
Hal kontroversial yang kembali ia
bicarakan ialah “Poligami itu syariat”. Kalau poligami dikatakan sebagai
syariat, bagaimana dengan mereka yang tidak berpoligami. Apakah tidak
manjalanan syariat. Melihat sisi kehidupan baginda Nabi Muhammad Saw, tentu lebih
lama bermonogami ketimbang berpoligami. Ini yang menjadikan bahwa Nabi Muhammad
Saw adalah sosok panutan Umat Islam yang setia terhadap satu pasangan, dan
tidak akan menikah lagi ketika Sayyidah Khadijah Ra masih hidup pada saat itu. Kembali
lagi ini sering kita temukan bagaimana melakukan suatu hal dengan membawa agama
maupun Nabi Muhammad Saw. Dan, konteks ini pun pernah terjadi ketika jihad dibicarakan
diberbagai kalangan Muslim.
Terakhir, hal paling
kontroversial yang ditemukan ialah pembicaraan tentang upah di mana ia
berbicara dengan mudahnya “Ngajarin Qur’an aja boleh mengambil upah, apalagi ngajarin
hidup bener”. Membandingkan dua hal yang sangat jelas berbeda, tentu pembahasan
tentang memberikan upah kepada pengajar Qur’an sudah dijelaskan dalam kitab
al-Tibyan karangan Imam al-Nawawi. Dan, diperbolehkan oleh beberapa Ulama
dengan alasan yang kita bayar itu tenaga nya semisal ia naik kendaraan menuju
tempat ngajar. Bukan soal mengajar kemudian mendapat upah. Bagaimana mereka
melihat surat Yasin ayat kedua puluh yang berbunyi:
ٱتَّبِعُوا۟ مَن لَّا یَسۡـَٔلُكُمۡ أَجۡرࣰا وَهُم مُّهۡتَدُونَ
Ikutilah orang yang
tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Tafsir al-Baidhowi –
al-Baidhowi (658 H).
﴿اتَّبِعُوا
مَن لا يَسْألُكم أجْرًا﴾ عَلى النُّصْحِ وتَبْلِيغِ الرِّسالَةِ. ﴿وَهم
مُهْتَدُونَ﴾ إلى خَيْرِ الدّارَيْنِ.
Kemudian, pembahasan terakhir
ialah bicara tentang sosial-budaya dan ekonomi. Secara sosial-budaya dan
ekonomi tentu sangat poligami dapat berpengaruh sangat berbahaya. Dalam sosial-budaya
korban terbesar dalam hal poligami ialah anak muda dan masyarakat yang berfikir
pragmatis. Pragmatis dalam artian sifat seseorang yang selalu berfikir sempit,
instan, dan tidak mau berfikir panjang dampak setelahnya akan seperti apa.
Di samping itu, kondisi Indonesia
saat ini di mana angka perceraian cukup tinggi sehingga waspada dan berfikir
panjang soal anak-cucu kita nanti pun harus kita bicarakan sekarang. Terakhir,
komnas Perempuan dengan tegas menyatakan “mentoring poligami adalah glorifikasi
kekerasan bagi perempuan”.