Latar belakang:
Bicara tentang media massa, tentu kita tidak dapat lupa dengan tangangan era digital yang begitu pesat sampai saat ini. Dalam salah satu jurnal ilmiah yang dituliskan oleh Yofiendi Indah Indainanto disitu disebutkan "Perkembangan teknologi internet berdampak pada perubahan praktek jurnalistik yang mengharuskan media merubah cara kerja, produksi konten, model bisnis dan struktur organisasi media. Tujuanya agar lebih inovatif dan efesien dalam upaya memberikan kesan pada pembaca. Perubahan gaya transaksional media ke arah interaksi membuat media terus mengoktimalkan terlibatnya pembaca untuk ikut dalam memproduksi konten. Praktek jurnalisme digital di Indonesia terus berupaya membangun iklim media yang disukai pembaca, stabil dan dinamis, sehingga muncul berbagai media dengan ciri khas konten segmentasi berdasarkan usia tertentu. Dalam penelitian ini, menggambarkan pola-pola media membangun kepercayaan ditengah informasi yang melimpah dan pengaruh media sosial yang kuat dalam memberikan informasi. Tantangan media berbagi konten gratis untuk menghidupi bisnis yang sesuai kebiasaan masyarakat Indonesai menyukai konten gratis. Media yang terlahir dari perkembangan teknologi seperti Idntimes.com, Beritagar.id, Tirto.id dan Kumparan.com, terus berinovasi dengan menggunakan teknologi dalam produksi konten dan mengarah generasi milienal sebagai target pembaca, sementara konvergensi seperti Kompas.com, tempo.co, tribunnews.com, konsisten menampilkan berita tanpa segmentasi usia."
Nanti, dari situ kita baru mengetahui bagaimana media massa dapat memiliki
transmisi yang aktif untuk era digital saat ini. Karena, perlu kita ketahui
juga bahwasannya keilmuan harus aktif dan masif melihat perkembangan zaman yang
ada. Kemudian, Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun pengaruh
negatif. Masalah kejahatan adalah salah satu masalah sosial yang selalu menarik
dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut
asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak,
terdapat kecenderungan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan tertentu,
baik secara kualitas maupun kuantitasnya. (Darmawan, 1994 : 1).
Terlebih, Masalah kejahatan adalah salah satu masalah sosial yang selalu
menarik dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi,
menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai
pihak, terdapat kecenderungan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan
tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Sebagai contoh adalah
aktivitas pelacuran yang merupakan penyakit masyarakat. Hampir di setiap media
massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang nyata tentang
kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan segala permasalahannya.
Terlebih saat ini semakin merebaknya pelacuran melalui situs internet.[1]
Permasalah prostitusi apabila dilakukan melalui media online ini dapat
dikenakan hubungan yang lebih berat karena terjerat oleh tiga undang-undang
yaitu Undang-Undang RI No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Undang-Undang RI No.44 Tahun 2009 Tentang Pornografi dan KUHP sudah cukup untuk
menjerat para pelakunya. Agar dapat dikenakan pasal Undang-undang tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik maka harus memenuhi unsur adanya
penistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik yang melanggar kesusilaan. Informasi elektronik yang melanggar
kesusilaan dari sudut pandang hukum pidana diantaranya adalah berupa gambar,
video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten kecabulan,
persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin.
Objek perbuatan kesusilaan ini pun harus disebarluaskan ke publik melalui
media elektronik yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Apabila memenuhi
unsur tersebut maka pelanggaran pidana yang dilakukan termasuk pidana khusus
sehingga ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (DITRESKRIMSUS)
kepolisian. Adapun proses dikepolisian secara umum meliputi: Penyelidikan,
Penyidikan, Penyidikan Pengumpulan Bukti, Penyidikan Penindakan.
Pidana Prostitusi Online
Pengertian Prostitusi Online
Prostitusi berasal dari kata latin yaitu
“pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan,
pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata “prostitute” merajuk pada kata
keterangan yang berarti WTS atau Wanita Tuna Susila. Prostitusi juga dapat
diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual
jasa kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan
imbalan sesuatu yang di perjanjikan sebelumnya, yang kini kerap disebut dengan
istilah pekerja seks komersial (PSK).[2]
Prositusi (pelacuran) secara umum adalah
praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja,
untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah
pembayaran, promiskuitaqs dan ketidak acuhan emosional.[3] Namun
dalam kasus-kasus tertentu terlibat pula orang lain yang berperan untuk
“memudahkan “ atau memfasilitasi aktifitas pelacuran dalam jaringan (prostitusi
online) tersebut yang mana kita mengenalnya dengan sebutan germo atau mucikari.
Berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di Indonesia, hanya orang
yang “memudahkan” inilah yang dapat diancam dengan pidana. Sebuah definisi
pelacuran yang kurang moralitas diajukan oleh Gagnon J.H (1968) Dalam bukunya
Prostitution dalam Internasional Encyclopedia of social science, sebagaimana
yang dikutip oleh Thanh-Dam Turong dalam bukunya Seks, uang dan kekuasaan,
memandang pelacuran sebagai pemberian akses seksual pada basis yang tidak
diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang atau uang, tergantung
pada kompleksitas system ekonomi. Pembayaran diakui bagi perilaku seksual yang
spesifik.
Prostitusi online adalah praktik
pelacuran yang lewat media sosial dalam menjajakannya, yang dimana para pelaku
melakukan promosi lewat media sosial dalam menyebarkan lewat media sosial
twitter, instragram, aplikasi-aplikasi penguhubung sosial lainnya. dari
berbagai kasus yang ada media sosial sering di salah gunakan dan untuk
melancarkan prositusi agar banyak orang yang tertarik untuk menggunakan jasa
PSK tersebut. Prostitusi online merupakan suatu perbuatan berhubungan seksual
dengan orang lain dengan menggunakan “transaksi” yang mana proses transaksi itu
dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Kegiatan ini melibatkan
paling tidak dua orang pihak yaitu orang yang menggunakan jasa layanan seksual
dan pemberi layanan seksual atau pekerja seks komersial (PSK).[4]
Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi
Online Dalam Hukum Indonesia
Pidana adalah sanksi yang hanya dalam
hukum pidana. Jika diartikan dengan sanksi dalam bidang hukum lain, maka pidana
adalah sanksi yang paling keras.[5]
Tanpa adanya sanksi pidana, maka satu
perbuatan hanyalah merupakan perbuatan melanggar hukum biasa. Perkataan tindak
pidana merupakan terjemahan dari Bahasa belanda “strafbaar Feit”. Dalam Bahasa
inggris “criminal act”, dama Bahasa latin “actus reus”. Secara harfiah apabila
digabungkan akan mengandung pengertian suatu kenyataan atau perbuatan nyata
yang dapat dihukum.[6]
Adapun tindak pidana prostitusi online
yang dimaksud adalah suatu kegiatan perdagangan manusia, dilakukan seseorang
dengan teknologi internet untuk memudahkan kegiatan prostitusi. Termasuk ke
dalam definisi perbuatan cabul, karena memenuhi sejumlah unsur- unsur seperti
persetubuhan di luar perkawinan dan dilakukan untuk mendapat kenikmatan
seksual.
Prostitusi online sendiri merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mempromosikan diri guna mendapatkan
melancarkan aksi pelacuran agar mempermudah dalam proses mempromosikannya.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak memberikan
penjelasan mengenai kata kesusilaan dalam penjelasannya, meskipun tidak secara
nyata menjelaskan mengenai prostitusi online, namun dapat memenuhi unsur
melanggar kesusilaan. Pasal-pasal yang terdapat didalamnya memberikan sanksi
bagi para pelaku yang melakukan dan melanggar kesusilan yang dapat dikatakan
cukup berat baik dalam hukuman pidana penjaranya maupun pidana dendanya.
Berikut analisis pasal yang menunjukan kepada muatan yang mengandung pornografi
dalam UU ITE, Perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan di internet (online) telah
diatur dalam UU ITE, contohnya ialah prostitusi Online, akan tetapi dalam
pasal-pasal peraturan tersebut tidak ada yang menggunakan kata prostitusi
secara langsung, terkecuali pada pasal 27 ayat 1 yang terdapat kata melanggar
kesusilaan yang kemudian ditafsirkan sebagai perbuatan yang dilarang.[7]
B. Pengaturan Penyidikan Tindak Pidana
Siber Materil di Indonesia
Dalam hal penangulangan tindak pidana
siber terkait tindak pidana prostitusi, Penyidikan diatur dalam Undang-undang
yang ada di Indonesia, yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.:
1. Pasal 43 ayat (1) Selain Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Pasal 43 ayat (2) Penyidikan di
bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap
privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan
data sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3. Pasal 43 ayat(3) Penggeledahan
dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum acara pidana.
4. Pasal 43 ayat (4) Dalam melakukan
penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik
wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.
5. Pasal 43 ayat (5) Penyidik Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik;
b. memanggil setiap Orang atau pihak
lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan
dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi
Elektronik;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran
laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang
dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat
dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat
tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di
bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan
terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga
digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundangundangan;
f. membuat suatu data dan/atau Sistem
Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;
h. meminta informasi yang terdapat di dalam
Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada
Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;
i. meminta bantuan ahli yang diperlukan
dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik; dan/atau
j. mengadakan penghentian penyidikan tindak
pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana.
6. Pasal 43 ayat (6) Penangkapan dan
penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. 7)
Pasal 43 ayat (7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada Penuntut
Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
7. Pasal 43 ayat (7a) Dalam hal
penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
8. Pasal 43 ayat (8) Dalam rangka
mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik,
penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi
dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan pasal- pasal dari undang-undang ITE tersebut dalam mengatur mengenai tugas dan wewenang penyidik, kode etik dalam proses penyidikan, dan tahapan-tahapan dalam penyidikan, hingga mengenai koordinasi penyidik dalam penanggulangan tindak pidana cyber crime, dari pasal-pasal tersebut sebagaimana sebagai hukum materil yang mana telah mengatur proses penyidikan secara rinci sehingga pihak penyidik tidak kesulitan dalam hal melakukan tugasnya melakukan proses penyidikan sesuai aturan yang berlaku.
DAFTAR
PU8TAKA
➢ Hervina Puspitosari, “Upaya
Penanggulangan Prostitusi Online Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”, Jurnal Komunikasi
Massa Vol 3 No. 1 Januari 2010, Hal. 1-3
➢Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model
Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
➢ Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 159.
➢Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model
Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
➢ Erdianto Effendi, Hukum Pidana
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm .139.
➢ P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm. 172.
➢Herman, H. “Pengaturaan Dan Sistem
Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut Hukum Positif”, Jurnal
hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Handayani, 2017, hlm. 4.
➢ Anindia, Islamia Ayu dan R. B, Sularto,
“Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Prostitusi Sebagai
Pembaharuan Hukum Pidana”. Jurnal hukum, Universitas Diponogoro, semarang,
2019, hlm. 25
[1] Hervina Puspitosari, “Upaya Penanggulangan
Prostitusi Online Internet Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”, Jurnal Komunikasi Massa Vol
3 No. 1 Januari 2010, Hal. 1-3
[2] Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model
Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
[3] Bagong
Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm.
159.
[4] Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model
Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat
Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
[5] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia,
Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm .139.
[6] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm. 172.
[7] Herman,
H. “Pengaturaan Dan Sistem Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut
Hukum Positif”, Jurnal hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Handayani, 2017,
hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar