Senin, 03 Juli 2023

Peran dan Kondisi Media Massa dan Demokrasi di Indonesia

Peran dan Kondisi Media Massa dan Demokrasi di Indonesia

 

                           FAHRIZAL HISBULAH (11200510000130)

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

A.   Pendahuluan

Latar belakang 

Menurut Leksikon Komunikasi, media massa adalah “sarana untuk menyampaikan pesan yang berhubungan langsung dengan masyarakat luas, misalnya radio, televisi, dan surat kabar”. Menurut Cangara dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Komunikasi, media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media massa sendiri adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi, seperti surat kabar, film, radio dan televisi (Cangara, 2010: 123–126).

Media adalah bentuk jamak dari medium, yang berarti “tengah” atau “perantara”, sedangkan massa berasal dari bahasa Inggris, yaitu mass yang berarti “kelompok” atau “kumpulan”. Dengan demikian, pengertian media massa adalah perantara atau alat-alat yang digunakan oleh massa dalam menjalin hubungan satu sama lain. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers menyebutkan jika pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui oleh Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental.; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi. Pengertian demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (epistemologis) dan istilah (terminologis). Secara epistemologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ”demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos adalah keadaan Negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintah rakyat dan oleh rakyat. 

Makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan Negara tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara yang menganut sistem demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian Negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan ditangan rakyat.

- Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis mengangkat permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi ideal yang layak untuk kehidupan media massa di suatu Negara yang demokratis?

2. Apa hambatan yang terjadi pada media massa di Indonesia?

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Melalui penulisan ini dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan ini, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana kondisi ideal yang layak diimpikan untuk kehidupan media massa yang demokratis

2. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada media massa di Indonesia.

 

B.    Pembahasan

           Demokrasi sebagai bentuk ideologi dimana rakyat sebagai pemilik kekuasaan membutuhkan „jembatan‟ untuk dapat menyalurkan aspirasinya. Dalam sistem ketatanegaraan, lembaga penyalur aspirasi dan agregasi salah satunya adalah melalui alat komunikasi politik yaitu media. Untuk mencapai masyarakat yang sangat luas (mass media) menjadi sangat penting peranannya dalam berdemokrasi. Media massa memiliki banyak fungsi, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Upaya mewujudkan Indonesia yang demokratis, maju, adil, dan kuat, merupakan cita-cita reformasi selama ini. Namun tampaknya memang masih jauh dari realitas. Kondisi transisi hingga sekarang masih terasa, keadaannya masih serba memprihatinkan. 

Gaduhnya perilaku elit politik dan jalannya roda pemerintahan terekam jelas dalam suatu volume informasi yang digelontorkan pada publik baik melalui media massa konvensional maupun media jejaring sosial sebagai indikasi kekuatan yang mulai diperhitungkan sebagai saluran aspirasi masyarakat. Masalahnya adalah bagaimana media massa menyajikan informasi yang benar pada publik tanpa distorsi ataupun pretensi negatif tentang keberpihakan media yang cenderung (menjadi rahasia umum) bersifat partisan. Sistem pengaturan penyiaran di Indonesia telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Terlepas dari kontroversi pada awal diberlakukanya undang undang tersebut, dimana media hanya menjadi alat penguasa untuk mempertahankan hegemoni atas informasi dan mereka memiliki kekhawatiran, salah satunya adalah pembentukan KPI dinilai akan membelenggu kreativitas awak media. Kontroversi pemberlakukan Undang-Undang Penyiaran, bisa menjadi bukti betapa media massa telah menjadi instrumen penting dalam peta politik Indonesia, khususnya di era reformasi ini. 

Media massa adalah giga medium yang setiap saat hadir sebagai ruang public yang menjadi cermin bagi siapapun. Dampaknya demikian besar pada keberlangsungan kehidupan manusia. Perkembangan sosial politik di dalam masyarakat bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari bagaimana semuanya direpresentasikan di dalam berbagai media komunikasi, khususnya televisi dan internet. Dunia sosial politik dan dunia komunikasi adalah dua dunia yang saling berhubungan di dalam masyarakat informasi dewasa ini meskipun ada relasi yang problematic di antara keduanya. Seperti televisi dan internet adalah lukisan politik Indonesia di ruang publik sehingga makna keindonesiaan itu sendiri bisa dibaca secara lengkap (meskipun ironis) di dalam program-program televisi, trending topics pada media jejaring sosial. 

Televisi dapat dikatakan sebagai sebuah pemadatan atau peledakan ke arah dalam realitas keIndonesiaan secara keseluruhan sehingga menonton televisi berarti menonton totalitas lukisan wajah Indonesia itu sendiri. Televisi dan bentuk media massa lainnya merupakan sebuah ruang yang didalamnya berlangsung berbagai bentuk eksperimen politik yang berupaya mencipta citra politik tertentu yang digerakkan oleh teknologi politik pencitraan, sementara internet dengan berbagai aktivitasnya melalui jejaring sosial (social networking), aktivitas para blogger dan penggunaan hypermedia lainnya adalah bentuk perluasan sebagai alternatif saluran komunikasi politik yang berlangsung, dan bentuk partisipasi yang lebih intens dari publik untuk terlibat langsung dalam suatu discourse pada isu-isu tertentu 

Menurut teori-teori normatif komunikasi massa modern, kondisi ideal yang layak diimpikan untuk kehidupan media massa di suatu Negara yang demokratis, sebagaimana halnya Indonesia di masa mendatang adalah terpenuhinya beberapa keadaan sebagai berikut: 

      Freedom of publication. Hal ini merupakan dasar utama demokrasi, yang menjamin adanya kebebasan berpendapat, menyampaikan informasi dan mengetahui kebenaran. 

      Plurality of ownership. Pluralitas pemilikan media hal penting untuk mengurangi bias kepentingan pemilik media. Altschull (1984) dalam second law of journalism-nya, dikatakan “the content of the media always reflect the interest of those who finance them” (McQuail,2000:198). 

      Diversity of information available to public, yaitu keragaman informasi yang disediakan untuk khalayak. 

      Diversity of expression of opinion. Yaitu sistem media massa memungkinkan memberikan kesempatan akses yang kurang 

Sistem media yang demokratis pada dasarnya harus mewujudkan tiga karakteristik (Cuilenberg & McQuail, 1998:67). Pertama, terdapat independensi dari media yang ada. Sifat independence atau kemerdekaan ini berarti tidak ada campur tangan baik dari pemerintah, maupun monopoli swasta, termasuk di sini kepentingan pasar. Selanjutnya, media yang ada harus mempunyai accountability, pertanggungjawaban secara profesional baik terhadap masyarakat secara umum, maupun kepada pengguna atau khalayaknya. Karakteristik terakhir, sistem media harus menjamin adanya keberagaman, diversity, baik keberagaman politik (political diversity), maupun keragaman sosial (social diversity). 

Dengan mengambil contoh pemikiran Antony Giddens dalam the third way (1999), sistem media alternatif-pun memerlukan suatu percampuran antara prinsip liberalisme dengan sosialisme. Dalam pemikiran ini, mekanisme pasar mendapatkan tempat yang terhormat, tetapi pasar tidak bisa menggantikan keseluruhan peran negara (Gidens, 1999: 55). Artinya masih ada celah bagi negara melalui regulasinya untuk menjamin terciptanya kondisi yang demokratis. Hanya saja pengertian negara dalam konteks demokrasi, tidak identik dengan pemerintah, melainkan negara dalam arti luas, termasuk kesepakatan rakyat. Sistem media alternatif yang demokratis dibangun atas landasan lima sektor jenis media, yakni dengan inti sektor media pelayanan publik (public service media), sektor civic media, sektor media swasta yang komersial, sektor media pemasaran sosial, dan media alternatif (cyber media). Media pelayanan publik merupakan inti pengimbang bias mekanisme pasar. Media ini bekerja berdasarkan prinsip-prinsip fairness dan imparsial. Orientasi utamanya adalah melakukan pemberitaan yang objektif, dan pelayanan terhadap publik yang beragam untuk menjamin social diversity maupun political diversity, sebagaimana kondisi riil Indonesia yang berbhineka dalam berbagai hal. 

Isi media contentnya lebih mengedepankan pada fungsionalisme media dalam proses demokrasi. Seperti fungsi surveillance, yaitu memberikan informasi  pada warga negara tentang apa yang terjadi di sekitar mereka. Fungsi education, mengajarkan secara obyektif mengenai makna dan arti dari fakta-fakta yang terjadi. Fungsi pembentukan wacana atau menyediakan suatu platform untuk wacana politik publik, dan memfasilitasi terbentuknya opini publik. Di dalamnya termasuk menyediakan space untuk pendapat yang berbeda. Berikutnya adalah fungsi publicity mengenai kerja institusi politik dan pemerintah, sekaligus menjalankan peran jurnalismenya sebagai watchdog terhadap institusi-institusi tersebut. Terakhir, media ini memberikan fungsi advocacy terhadap pandangan politik masyarakat melalui prinsip keterbukaan (McNair, 1999: 21-22). 

C.   Kesimpulan

Berdasarkan paparan diatas secara implisit menunjukkan kompleksitas suatu sistem media yang demokratis, sekaligus menunjukkan pula tidak mudahnya upaya proses untuk mewujudkan sistem itu. Ada banyak persoalan, baik berkaitan dengan tantangan ke depan dari teknologi komunikasi, kesiapan masyarakat, pemerintah, perangkat regulasi, maupun filosofi yang mendasari. Yang jelas upaya membangun sistem demokrasi tidak pernah lepas dari upaya memperkuat masyarakat, dan institusi-institusi sosialnya, yang ke semuanya harus ditempuh melalui proses yang panjang, serta pendanaan yang tidak sedikit. Tentu saja dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, sebagaimana pada masa transisi, membangun sistem media menjadi sesuatu yang sulit. Namun bagaimanapun sistem komunikasi massa merupakan aspek yang amat penting, karenanya layak untuk dipikirkan. Makalah ini sebenarnya dilihat dari ide dasarnya telah banyak dikemukakan oleh banyak orang (pakar), dalam upaya memunculkan suatu kerangka bangunan media massa yang benar-benar memihak pada kepentingan publik, bukan mengabdi pada penguasa atau pengusaha (pemilik modal), dengan maksud terjadinya diskursus mengenai pembangunan sistem media di Indonesia ke depan, yang lebih maju, dan demokratis.

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

Slamet, Adiyama. 2016. MEDIA DAN MASA DEPAN DEMOKRASI DI INDONESIA. JIPSi. Bandung

Setiawan, Zudi. 2021. MEDIA MASSA, NEGARA DAN DEMOKRASI: KEKUATAN POLITIK MEDIA MASSA DALAM MENDORONG PROSES DEMOKRATISASI DI INDONESIA PASCA ORDE BARU. SPEKTRUM UNWAHAS. Semarang

Aminah, Siti. 2019. POLITIK MEDIA, DEMOKRASI DAN MEDIA POLITIK. FISIP Unair. Surabaya

Poti, Jamhur. 2021. DEMOKRATISASI MEDIA MASSA DALAM PRINSIP KEBEBASAN. Universitas Maritim Raja Haji Ali. Kepulauan Riau

Evanalia Sadryana. 2022. PERAN JURNALISME MEDIA SOSIAL DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI DI INDONESIA. JAP. Jakarta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 02 Juli 2023

UU ITE; Tantangan media massa di era digital

Latar belakang:

 

Bicara tentang media massa, tentu kita tidak dapat lupa dengan tangangan era digital yang begitu pesat sampai saat ini. Dalam salah satu jurnal ilmiah yang dituliskan oleh Yofiendi Indah Indainanto disitu disebutkan "Perkembangan teknologi internet berdampak pada perubahan praktek jurnalistik yang mengharuskan media merubah cara kerja, produksi konten, model bisnis dan struktur organisasi media. Tujuanya agar lebih inovatif dan efesien dalam upaya memberikan kesan pada pembaca. Perubahan gaya transaksional media ke arah interaksi membuat media terus mengoktimalkan terlibatnya pembaca untuk ikut dalam memproduksi konten. Praktek jurnalisme digital di Indonesia terus berupaya membangun iklim media yang disukai pembaca, stabil dan dinamis, sehingga muncul berbagai media dengan ciri khas konten segmentasi berdasarkan usia tertentu. Dalam penelitian ini, menggambarkan pola-pola media membangun kepercayaan ditengah informasi yang melimpah dan pengaruh media sosial yang kuat dalam memberikan informasi. Tantangan media berbagi konten gratis untuk menghidupi bisnis yang sesuai kebiasaan masyarakat Indonesai menyukai konten gratis. Media yang terlahir dari perkembangan teknologi seperti Idntimes.com, Beritagar.id, Tirto.id dan Kumparan.com, terus berinovasi dengan menggunakan teknologi dalam produksi konten dan mengarah generasi milienal sebagai target pembaca, sementara konvergensi seperti Kompas.com, tempo.co, tribunnews.com, konsisten menampilkan berita tanpa segmentasi usia."

 

Nanti, dari situ kita baru mengetahui bagaimana media massa dapat memiliki transmisi yang aktif untuk era digital saat ini. Karena, perlu kita ketahui juga bahwasannya keilmuan harus aktif dan masif melihat perkembangan zaman yang ada. Kemudian, Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Masalah kejahatan adalah salah satu masalah sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. (Darmawan, 1994 : 1).

 

Terlebih, Masalah kejahatan adalah salah satu masalah sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu. Terlebih lagi, menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan dan penelitian berbagai pihak, terdapat kecenderungan peningkatan dari bentuk dan jenis kejahatan tertentu, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Sebagai contoh adalah aktivitas pelacuran yang merupakan penyakit masyarakat. Hampir di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan segala permasalahannya. Terlebih saat ini semakin merebaknya pelacuran melalui situs internet.[1]

 

Permasalah prostitusi apabila dilakukan melalui media online ini dapat dikenakan hubungan yang lebih berat karena terjerat oleh tiga undang-undang yaitu Undang-Undang RI No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang RI No.44 Tahun 2009 Tentang Pornografi dan KUHP sudah cukup untuk menjerat para pelakunya. Agar dapat dikenakan pasal Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka harus memenuhi unsur adanya penistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan. Informasi elektronik yang melanggar kesusilaan dari sudut pandang hukum pidana diantaranya adalah berupa gambar, video, percakapan, animasi, sketsa yang mengandung konten kecabulan, persetubuhan, kekerasan seksual, alat kelamin.

 

Objek perbuatan kesusilaan ini pun harus disebarluaskan ke publik melalui media elektronik yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Apabila memenuhi unsur tersebut maka pelanggaran pidana yang dilakukan termasuk pidana khusus sehingga ditangani oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (DITRESKRIMSUS) kepolisian. Adapun proses dikepolisian secara umum meliputi: Penyelidikan, Penyidikan, Penyidikan Pengumpulan Bukti, Penyidikan Penindakan.

 

Pidana Prostitusi Online

 

Pengertian Prostitusi Online

 

Prostitusi berasal dari kata latin yaitu “pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata “prostitute” merajuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau Wanita Tuna Susila. Prostitusi juga dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan sesuatu yang di perjanjikan sebelumnya, yang kini kerap disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).[2]

 

Prositusi (pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah pembayaran, promiskuitaqs dan ketidak acuhan emosional.[3] Namun dalam kasus-kasus tertentu terlibat pula orang lain yang berperan untuk “memudahkan “ atau memfasilitasi aktifitas pelacuran dalam jaringan (prostitusi online) tersebut yang mana kita mengenalnya dengan sebutan germo atau mucikari. Berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di Indonesia, hanya orang yang “memudahkan” inilah yang dapat diancam dengan pidana. Sebuah definisi pelacuran yang kurang moralitas diajukan oleh Gagnon J.H (1968) Dalam bukunya Prostitution dalam Internasional Encyclopedia of social science, sebagaimana yang dikutip oleh Thanh-Dam Turong dalam bukunya Seks, uang dan kekuasaan, memandang pelacuran sebagai pemberian akses seksual pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang atau uang, tergantung pada kompleksitas system ekonomi. Pembayaran diakui bagi perilaku seksual yang spesifik.

 

Prostitusi online adalah praktik pelacuran yang lewat media sosial dalam menjajakannya, yang dimana para pelaku melakukan promosi lewat media sosial dalam menyebarkan lewat media sosial twitter, instragram, aplikasi-aplikasi penguhubung sosial lainnya. dari berbagai kasus yang ada media sosial sering di salah gunakan dan untuk melancarkan prositusi agar banyak orang yang tertarik untuk menggunakan jasa PSK tersebut. Prostitusi online merupakan suatu perbuatan berhubungan seksual dengan orang lain dengan menggunakan “transaksi” yang mana proses transaksi itu dapat dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Kegiatan ini melibatkan paling tidak dua orang pihak yaitu orang yang menggunakan jasa layanan seksual dan pemberi layanan seksual atau pekerja seks komersial (PSK).[4]

 

Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online Dalam Hukum Indonesia

 

Pidana adalah sanksi yang hanya dalam hukum pidana. Jika diartikan dengan sanksi dalam bidang hukum lain, maka pidana adalah sanksi yang paling keras.[5]

Tanpa adanya sanksi pidana, maka satu perbuatan hanyalah merupakan perbuatan melanggar hukum biasa. Perkataan tindak pidana merupakan terjemahan dari Bahasa belanda “strafbaar Feit”. Dalam Bahasa inggris “criminal act”, dama Bahasa latin “actus reus”. Secara harfiah apabila digabungkan akan mengandung pengertian suatu kenyataan atau perbuatan nyata yang dapat dihukum.[6]

 

Adapun tindak pidana prostitusi online yang dimaksud adalah suatu kegiatan perdagangan manusia, dilakukan seseorang dengan teknologi internet untuk memudahkan kegiatan prostitusi. Termasuk ke dalam definisi perbuatan cabul, karena memenuhi sejumlah unsur- unsur seperti persetubuhan di luar perkawinan dan dilakukan untuk mendapat kenikmatan seksual.

 

Prostitusi online sendiri merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mempromosikan diri guna mendapatkan melancarkan aksi pelacuran agar mempermudah dalam proses mempromosikannya. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak memberikan penjelasan mengenai kata kesusilaan dalam penjelasannya, meskipun tidak secara nyata menjelaskan mengenai prostitusi online, namun dapat memenuhi unsur melanggar kesusilaan. Pasal-pasal yang terdapat didalamnya memberikan sanksi bagi para pelaku yang melakukan dan melanggar kesusilan yang dapat dikatakan cukup berat baik dalam hukuman pidana penjaranya maupun pidana dendanya. Berikut analisis pasal yang menunjukan kepada muatan yang mengandung pornografi dalam UU ITE, Perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan di internet (online) telah diatur dalam UU ITE, contohnya ialah prostitusi Online, akan tetapi dalam pasal-pasal peraturan tersebut tidak ada yang menggunakan kata prostitusi secara langsung, terkecuali pada pasal 27 ayat 1 yang terdapat kata melanggar kesusilaan yang kemudian ditafsirkan sebagai perbuatan yang dilarang.[7]

 

B. Pengaturan Penyidikan Tindak Pidana Siber Materil di Indonesia

 

Dalam hal penangulangan tindak pidana siber terkait tindak pidana prostitusi, Penyidikan diatur dalam Undang-undang yang ada di Indonesia, yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.:

 

1. Pasal 43 ayat (1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik.

2. Pasal 43 ayat (2) Penyidikan di bidang Teknologi Informasi dan

Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, dan integritas atau keutuhan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

3. Pasal 43 ayat(3) Penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap Sistem Elektronik yang terkait dengan dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

 

4. Pasal 43 ayat (4) Dalam melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyidik wajib menjaga terpeliharanya kepentingan pelayanan umum.

 

5. Pasal 43 ayat (5) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

 

a.     menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

b.     memanggil setiap Orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

 

c.     melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

d.     melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

e.     melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

 

f.      melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

g.     melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau sarana kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan peraturan perundangundangan;

 

f. membuat suatu data dan/atau Sistem Elektronik yang terkait tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik agar tidak dapat diakses;

 

h.     meminta informasi yang terdapat di dalam Sistem Elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh Sistem Elektronik kepada Penyelenggara Sistem Elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik;

 

 

i.      meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik; dan/atau

 

j.      mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana.

 

 

6. Pasal 43 ayat (6) Penangkapan dan penahanan terhadap pelaku tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana. 7) Pasal 43 ayat (7) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut

Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

 

7. Pasal 43 ayat (7a) Dalam hal penyidikan sudah selesai, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

 

8. Pasal 43 ayat (8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

 

Berdasarkan pasal- pasal dari undang-undang ITE tersebut dalam mengatur mengenai tugas dan wewenang penyidik, kode etik dalam proses penyidikan, dan tahapan-tahapan dalam penyidikan, hingga mengenai koordinasi penyidik dalam penanggulangan tindak pidana cyber crime, dari pasal-pasal tersebut sebagaimana sebagai hukum materil yang mana telah mengatur proses penyidikan secara rinci sehingga pihak penyidik tidak kesulitan dalam hal melakukan tugasnya melakukan proses penyidikan sesuai aturan yang berlaku. 

 

DAFTAR PU8TAKA

 

Hervina Puspitosari, “Upaya Penanggulangan Prostitusi Online Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”, Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 1 Januari 2010, Hal. 1-3

 

Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.

 

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 159.

 

Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.

 

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm .139.

 

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm. 172.

 

Herman, H. “Pengaturaan Dan Sistem Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut Hukum Positif”, Jurnal hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Handayani, 2017, hlm. 4.

 

Anindia, Islamia Ayu dan R. B, Sularto, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Prostitusi Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana”. Jurnal hukum, Universitas Diponogoro, semarang, 2019, hlm. 25

 



[1] Hervina Puspitosari, “Upaya Penanggulangan Prostitusi Online Internet Berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)”, Jurnal Komunikasi Massa Vol 3 No. 1 Januari 2010, Hal. 1-3

[2] Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.

[3] Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 159.

[4] Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.

[5] Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm .139.

 

[6] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm. 172.

[7] Herman, H. “Pengaturaan Dan Sistem Penyelesaian Tindak Pidana Prostitusi Online Menurut Hukum Positif”, Jurnal hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Komputer Handayani, 2017, hlm. 4.

Peran dan Kondisi Media Massa dan Demokrasi di Indonesia

​ Peran dan Kondisi Media Massa dan Demokrasi di Indonesia                              FAHRIZAL HISBULAH (11200510000130) Program Studi Kom...